Rabu, 07 Desember 2011

Seminar Nasional Majelis Rektor Indonesia

Di Makassar

Globalisasi dan Tantangan Perguruan Tinggi

Pada kurun waktu 10-15 tahun ke depan, perguruan tinggi Indonesia akan menghadapi berbagai tantangan besar yang perlu di respons dengan bijaksana. Globalisasi ekonomi dan revolusi teknologi informasi adalah dua kekuatan besar yang amat mempengaruhi dunia penguruan tinggi Indonesia. Kalau lembaga pendidikan tinggi nasional tidak mampu merespons tantangan globalisasi ini dengan memadai, diperkirakan lembaga tersebut akan tidak mampu mempertahankan eksistensinya di masyarakat dan secara pelan tetapi pasti akan kehilanganan peranannya. Mudah-mudahan ramalan yang pesimistis ini tidak perlu terjadi asal kita mampu mengembangkan strategi-strategi survival yang tepat.

Dunia pendidikan tinggi yang menganut faham universialisme ilmu pengetahuan dan teknologi sebenarnya selalu memperhatikan dan memperhatikan pertimbangan bahwa masyarakat pendidikan Indonesia adalah bagian dari masyarakat global. Proses seperti ini oleh Beck1 disebut globalitas yang sudah berlangsung sejak lama dalam dunia pendidikan mau pun dalam perdagangan intenasional. Tetapi dalam perkembangan yang terjadi sejak 1970an globalisasi berkembang menjadi “the process through which sovereign national states are criss-crossed and undermined by transnational actors – governments or MNCs – with varying prospects of power, orientations, identitities, and networks”.2

Dalam proses globalisasi tersebut, dua kekuatan yang amat menentukan adalah kemajuan atau bahkan revolusi teknologi khususnya dalam teknologi informasi dan bioteknologi yang dikuasai oleh perusahaan-perusahan yang memiliki menugasai modal finansial dan intelektual. Restrukturisasi sosial-ekonomi yang terjadi di negara-negara maju pada kurun waktu 1980an terjadi karena didorong oleh 2 kekuatan besar yakni kemajuan teknologi informasi dan keputusan perusahaan yang menguasai modal besar. Pada kondisi seperti ini wilayah suatu negara berdaulat akan mengalami perubahan mendasar dalam superstruktur dan substrukturnya. Di masa lalu suatu bangsa selalu memiliki dan menguasai baik superstruktur dan substruktur sehingga keduanya terpisah dan dapat dibedakan dari bangsa lain. Tetapi dalam era globalisasi, superstruktur – pemerintah – tidak sepenuhnya berdaulat atas suatu negara. Substruktur suatu bangsa yang sekarang mencakup MNCs mempunyai “kekuatan” yang luar biasa untuk memaksa pemerintah negara “berdaulat” untuk melaksanakan kehendaknya. Ironisnya, proses yang disebut sebagai penjajahan kulit putih oleh Prof. T. Jacob, terjadi dengan dukungan lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia dan bahkan PBB yang pada era globalisasi ini cenderung lebih membela kepentingan negara superpower daripada negara berkembang yang dikucilkan. Terlepas dari ketidaksetujuan kita terhadap cara-cara Presiden Saddan Hussein memimpin Iraq, kampanye perang yang dilancarkan oleh Amerika Serikat saat ini dengan dukungan PBB merupakan salah satu contoh dari implikasi negatif globalisiasi dalam politik internasional.

Sebagai lembaga sosial yang secara tradisional bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, perguruan tinggi adalah lembaga yang paling merasakan tuntutan sosial untuk perubahan global tersebut. Dunia usaha, pemerintah dan masyarakat yang memerlukan ilmu pengetahuan baru yang berbasis teknologi informasi, bioteknologi serta ilmu-ilmu multidisiplin lainnya akan menuntut perguruan tinggi untuk memenuhi kebutuhan mereka akan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih tinggi.

Globalisasi ekonomi yang sedang berlangsung dengan cepat pada beberapa dekade ke depan, di satu fihak akan memberikan kesempatan yang amat besar kepada perguruan tinggi untuk memberikan pelayanan ilmu pengetahuan dan teknologi baik kepada pemerintah, masyakarat mau pun kepada dunia usaha. Tetapi kalau perguruan tinggi terlalu terjerumus pada kegiatan tersebut, peranan perguruan tinggi selama ini yang hampir monopolisitik dalam pengembangan ilmu pasti akan mengalami perubahan drastis. Yang tidak kalah pentingnya untuk selalu diperhatikan adalah peranan perguruan tinggi Indonesia sebagai lembaga menghasilkan calon pemimpin bangsa yang bermoral dan berbudaya demokratis. Kalau perguruan tinggi terlalu terjebak dalam arus globalisasi yang merupakan suatu proses yang nir-demokratis, secara pasti perguruan tinggi akan tidak mampu melaksanakan salah satu tugas utamanya tersebut.

Perubahan Populasi Calon Mahasiswa

Beberapa perguruan tinggi besar di Indonesia sering kali mendapat teguran dari pembuat kebijakan karena dituduh telah melakukan “cardinal sin” membuka program off-campus. Bahkan teguran tersebut sudah sedemikian sengitnya, sampai-sampai ada Edaran kepada berbagai Departemen dan BUMN oleh seorang pejabat Depdiknas yang menyatakan bahwa gelar yang diberikan oleh suatu lembaga pendidikan tinggi tidak syah. Kontroversi semacam ini belum menunjukkan tanda-tanda akan menyurut dalam waktu dekat sebelum para pejabat tersebut memahami perubahan yang sedang terjadi dalam peta calon mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi.

Globalisasi yang sedang melanda berbagai bagian dunia telah mendorong perkembangan knowledge society dan knowledge based economy. Perkebangan inilah yang oleh Alvin Toffler disebut sebagai Gelombang Industri Ketiga, yang dimulai dengan pertumbuhan pesat industri yang berbasis ilmu pengetahunan dan teknologi, khususnya teknologi informasi. Di negara berkembang seperti Indonesia, ada tanda-tanda industri Gelombang Pertama, kedua dan Ketiga terjadi tanpa harus menunggu siklus Gelombang Industri sebelumnya selesai. Dengan kata lain, pada ekonomi Gelombang Pertama – industri pertanian – Gelombang Kedua – manufakturing – masih berlangsung.

Mengelola Perguruan Tinggi Menghadapi Tantangan dan Perubahan Stratejik

Bagaimana mengelola sebuah perguruan tinggi agar mampu menghadapi berbagai tantangan global tadi dengan selamat? Sebagai suatu organisasi dengan anggota yang mempunyai tingkat pendidikan yang reata lebih tinggi dari masyarakat pada umunnya, perguruan tinggi seharusnya dapat menjadi organisasi yang terdepan dalam menghadapi berbagai tantangan global. Sayangnya, berbeda dengan harapan orang banyak, perguruan tinggi tidak terlalu berbeda dengan organisasi pemerintah daerah dalam persiapan menghadapi perubahan.

Senin, 22 Desember 2008

TANTANGAN PERGURUAN TINGGI DI ERA INFORMASI

Dalam 20 tahun terakhir ini, kita melihat perkembangan TI yang cukup pesat di Indonesia. Dimulai kebijakan pemerintah tahun 1988 yang mendukung berdirinya bank perkreditan rakyat (BPR). Seiring dengan perkembangan BPR, secara tidak langsung juga mendukung perkembangan industri TI. Pertumbuhan TI waktu itu selalu double digit atau bahkan diatas 100% per tahun. Bahkan beberapa perusahaan melaporkan pertumbuhan diatas 500% per tahun. Perkembangan ini terus mencapai puncaknya sampai akhir tahun 2001. Setelah tahun 2001 perkembangan TI di Indonesia relatif menurun dan kembali pada pertumbuhan yang wajar sekitar 20-30% per tahun.
Perkembangan TI yang relatif menurun secara tidak langsung juga mempengaruhi jumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah TI. Sejak tahun 2004, statistika di banyak universitas melaporkan jumlah mahasiswa TI yang terus menurun, walaupun dibeberapa universitas lain melaporkan terjadinya peningkatan jumlah mahasiswa TI.
Ada beberapa pakar yang berpendapat sebenarnya bukan jumlah minat mahasiswa TI yang berkurang, tetapi jumlah mereka terserap di fakultas lain yang notabene kandungan TInya juga cukup tinggi. Beberapa komentar dari mahasiswa TI yang mengatakan bahwa desain mata kuliah TI itu terlalu padat, abstrak dan sulit diaplikasinya. Hal ini ada benarnya bila kita lihat desain mata kuliah TI di luar negeri biasanya tidak seberat mata kuliah TI yang kita tawarkan ke mahasiswa kita. Menurut pendapat mereka wajar saja kalau peminatnya berkurang dan berpindah ke jurusan lain yang lebih ‘masuk akal’ bagi mereka. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa penurunan tren mahasiswa TI disebabkan karena mata kuliah yang diajarkan ke mahasiswa tidak up to date alias kadaluarsa, sehingga setelah luluspun mahasiswa tetap harus belajar lagi dari nol. Bagi mereka, lulusan TI tidak seperti lulusan disiplin lain yang dapat langsung mempraktekkan ilmunya. Kesemua kenyataan diatas mungkin merupakan faktor penyebab menurunnya minat mahasiswa untuk mendaftar di fakultas TI. Terlepas dari semua alasan yang dipaparkan diatas, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa permintaan pasar terhadap sarjana komputer (S.Kom) masih tetap tinggi. (disadur dari dahlan abdullah)